SEJARAH DESA
Sejarah Desa Katung dapat kami petik dari sebuah cerita dalam kitab purana yang menceritakan tentang kerajaan Bangli yang pada awal berdirinya bernama Desa Katungka yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang secara harfiah berarti “Penjahat Hina atau Peerbuatan Hina”. Desa Katungka dipakai nama Desa berdasarkan fungsi dari lokasi Desa pada jaman dahulu. Ketika itu yang bertahta sebagai raja Bali ialah Cri Adhikuntikentana yang telah dinobatkan dengan gelar Bhatara Guru Cri Adhikuntikentana yang menggantikan kakaknya yang bernama Paduka Cri Maharaja Haji Eka Jaya Lancana yang wafat pada 1 Caka 1126 (1204 Masehi). Ketika itu lokasi Desa Katung masih berupa hutan belantara dari kekuasaan seorang raja absolutism, sehingga keputusan-keputusan yang diambil tidak berprikemanusiaan dan semata-mata berdasarkan kekuasaan sang raja saja dengan melalui pengadilan langsung dijatuhi hukuman mati atau dibuang ke suatu tempat. Mereka yang dihukum Selong atau dibuang ke tempat lain biasanya ditempatkan di seberang lautan atau ditempat yang tidak disenangi seperti alas atau hutan belantara.
Oleh raja Bhatara Guru Cri Adhikuntikentana rakyat yang dijatuhi hukuman ditempatkan dalam hutan yang cukup lebat. Lama-kelamaan orang yang dihukum tersebut semakin banyak yang kemudian mereka sepakat untuk merambas hutan untuk dijadikan tempat permukiman dan tanah pertanian yang kemudian permukiman itu menjadi sebuah Desa.
Desa Katungka berubah menjadi Desa Katung sampai sekarang merupakan perjalanan cerita yang cukup panjang. Penduduk Desa Katung sekarang bukanlah orang-orang atau keturunan yang pertama kali membangun Desa Katungka. Didalam Kitab Purana disebutkan bahwa Raja Bhatara Guru Cri Adhikuntikentana mendirikan kerajaan sekitar kota bangle sekarang dan di Pulau Bali beliau banyak mendirikan Pasraman atau Parhyangan antara lain di perbatasan sebelah selatan kerajaan beliau mendirikan Pura Sumadiha Dihiasa dengan arca Makaradewi. Dengan demikian awal berdirinya Desa Katung diperkirakan pada jaman pemerintahan Bhatara Cri Adhikuntikencana yang bertahta pada tahun 1 caka 1126 (tahun 1204 Masehi).
Setelah berdirinya kerajaan Buleleng yang merupakan kerajaan terluas dan terkuat di Bali yang pada saat itu dipimpin oleh raja I Gusti Panji Sakti dan mempunyai pasukan yang handal bernama Teruna Gowak, yang terkenal sering menyerang kerajaan-kerajaan lainnya di Bali dan pernah pula menyerang kerajaan Blambangan di Jawa Timur dan berhasi ditundukkan. Diantara kerajaan-kerajaan yang ada di Bali yang pernah diserang oleh pasukan Buleleng adalah kerajaan Berabang yang sekarang masuk kewilayah jembrana, Kerajaan Singhasana yang sekarang termasuk daerah Tabanan, Kerajaan Karang Asem yang sekarang menjadi ibukota Amlapura, kerajaan Bangli dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Kerajaan Bangli diserang oleh Kerajaan Buleleng pada abad ke 18, sehingga menimbulkan perang antara Teruna Gowak dengan rakyat Jengkal wilayah kerajaan Bangli, namun karena persenjataan yang lebih modern maka dalam waktu yang sangat singkat wilayah pengunungan dapat dikuasai oleh pasukan Kerajaan Buleleng dan berhasil menduduki sejengkal wilayah kerajan Bangli. Dalam hubungan ini termasuk Desa Katung, dimana seluruh rumah penduduk dibakar habis oleh pasukan Teruna Gowak, sedangkan penduduk yang berhasil melarikan diri lari meninggalkan Desa Katung dan mencari tempat yang dianggap aman serta selanjutnya tidak kembali lagi ke Desa Katung dan tetap tinggal di beberapa Desa sebagai tempat persembunyian pada masa itu.
Diceritakan pasukan Teruna Gowak yang berhasil menguasai wilayah Bangli telah sampai pada bagian daerah Ibu Kotanya, yaitu disebelah utara Desa Kubu sekarang. Sesampainya disana Pasukan tersebut berhenti beristirahat untuk makan dari bekalnya yang secara tradisional dipikul oleh bagian logistik dengan menggunakan alat pikul dari batang bambu yang masih mentah dan ditancapkan di tanah sekitar mereka beristirahat. Kemudian setelah selesai beristirahat mereka melanjutkan serangan ke selatan dengan tujuan menguasai Kota Bangli. Sesampainya di selatan Desa Kubu tepatnya di wilayah Bukit Bangli tampak oleh pasukan Buleleng sebuah api berkobar yang sangat besar yang semakin lama semakin mendekati pasukan Buleleng. Karena merasa takut dan khawatir akan kobaran api yang besar tersebut mendekat dan dapat membakar mereka maka pasukan Buleleng melarikan diri kearah utara dengan meninggalkan alat pemikul dari batang bambu yang masih muda tersebut yang kemudian tumbuh tunas menjadi hutan bambu yang disebut hutan kekeran.
Desa Katung setelah ditinggalkan oleh pasukan Buleleng tidak ada penghuninya dan lama-kelaman Desa Katung kembali menjadi hutan lebat. Ketika itu Desa Kayubihi berpenduduk cukup padat, sehingga kekurangan tanah untuk permukiman sehingga pada sekitar tahun 1 caka 1789 sebanyak empat puluh kepala keluarga penduduk Kayubihi dipindahkan kedaerah utara. Atas prakarsa kerelaan beberapa penduduk Kayubihi, mereka berusaha mencari permukiman baru dan tanah garapan ditempat lain. Kemudian mereka berjalan kearah barat laut menuju ke sebuah hutan lebat dan bekas-bekas bangunan suci atau pura. Dengan ditemukannya bekaas-bekas bangunan suci atau pura tersebut maka sampai disana mereka menghentikan perjalanannya dan mulai menempati hutan tersebut sebagai tempat tinggal mereka.
Sebelum kedatangan orang dari Desa Kayubihi, hutan bekas dari penduduk Desa Kutungka yang sekarangbernama Katung dikuasai oleh Desa Bayung Gede. Untuk diijinkannya orang dari Kayubihi menempati dan mengolah hutan menjadi tempat tinggal, maka rakyat Kayubihi beserta Bayung Gede memohon permakluman kepada raja Bangli agar beliau berkenal menyetujuinya menempati hutan tersebut menjadi tempat tinggal. Setelah mendapat persetujuan dari Raja Bangli mulailah orang Kayubihi tersebut membabat hutan dan membersihkannya untuk dijadikan tempat suci (Pura), tempat tinggal dan mengolah tanah untuk pertanian. Sehingga terbentuk sebuah Desa Katung sampai sekarang.